Mau Pakai Ban Cacing? Monggo bro…
Ranah blogger lagi ramai membahas tentang
ban cacing. Apa itu ban cacing? Lalu kenapa semua ribut soal ban
cacing? Ukurannya di bawah standar ban yang sudah disediakan untuk
tiap-tiap motor. Realitasnya adalah, ban ini awalnya memang digunakan
untuk keperluan Drag Race. Bukan, ini bukan drag race ala moge, atau
mobil sport. Tetapi, mungkin hanya di Indonesia, atau asia tenggara, ada
motor drag race dengan spesifikasi bebek atau matic. Nah ban cacing ini
digunakan karena profilnya yang tipis sehingga akan mengurangi unsur
hambatan dari ban. Makanya bagi para dragster akan mencari ban setipis
mungkin. Walaupun tidak setipis cintaku terhadap dirimu. *halah, galau
style*.
Nah, awalnya digunakan di area terbatas,
lambat laun, para remaja yang suka BAli alias balap liar ikutan meniru.
Tadinya khusus untuk dipakai balapan liar. Tetapi kemudian, entah siapa
yang memulai, terjadi trend penggunaaan ban cacing untuk penggunaan
harian. Ada berbagai macam argumentasi oleh sang pemilik. “Kan lokasi
kerjaan gue deket bang. Cuma 10 menit. Itu juga jalannya pelan-pelan.”
ujar seorang pemuda, tetangga penulis, yang menggunakan ban tersebut
untuk harian. Tapi toh realitasnya, makin banyak yang menggunakannya
untuk perjalanan jauh (di atas 5 kilometer). Nah loh, kok berani? Yah
tidak pikir panjang itu namanya. Potensi menyusahkan, bahkan
mencelakakan.
Kenapa demikian? Yah sudah jelas, namanya
perjalanan harian tidak seperti trek drag race yang lurus-lurus saja.
Ada belokan ke kiri, ke kanan, bahkan kadang-kadang menghadapi speed
bump, polisi yang suka tidur dan jalan berlubang. Nah untuk tipe jalan
raya seperti ini, ban cacing rapuh dimakan usia, eh, maksudnya rapuh
terhadap kecelakaan. Yah itu tadi, karena profilnya yang tipis, tidak
dirancang untuk belokan dan hantaman di jalan. Tidak terhitung jumlahnya
(bukan berarti ane gak bisa ngitung bro), kejadian yang penulis lihat,
saat pengendara dengan motor ban cacing mengalami kecelakaan. Dari yang
“beruntung” cuma jatuh, hingga ditabrak dari belakang. Pernah seorang
remaja tanggung pecicilan gebar-geber gas dengan matic dan ban
cacingnya. Eh 5 menit kemudian, dia ditemukan sudah terkapar di tengah
jalan. Setelah ditelusuri, velg jari-jarinya bengkok dan bannya robet
karena menghantam lubang kecil. ini baru lubang kecil bro. Lalu pernah
juga melihat saat hujan-hujan, ketika sebuah matic (lagi-lagi matic)
tergelincir saat di tikungan. Padahal kecepatan mungkin cuma 20-40
km/jam, doi tergelincir dan rider serta penumpangnya jatuh. Apes, basah,
jatuh dan seperti biasa, menyusahkan orang lain. Untung, sekali, masih
untung tidak ditabrak dari belakang.
Nah kenapa banyak yang benci dengan
pengguna ban ini? Bukan sentimen atau karena gak sanggup beli. Ingat
braders, jalanan itu milik rakyat. Gak ada lagi itu istilah motor aing
kumaha aing. istilah itu cuma berlaku selama motor masih berada di
belakang pagar rumah. Sudah seinci keluar dari rumah, yang ada hanya,
Jalanan Milik Bersama. Berbagi, atau mati! (serem amat yak?). Yang
terjadi, dan ini kerap dialami oleh penulis juga, pengguna ban cacing
ini cenderung seruntulan, potong jalur orang seenaknya dan kerap
memaksakan manuver yang membahayakan orang lain. Penulis sendiri pernah,
sekali mohon maaf, jangan ditiru, mengeplak kepala seorang
pengguna motor matic (matic lagi dahhhhh) yang seenaknya memotong jalur
dari kiri lalu ke kanan. Pas ditegur setelah mendapat keplakan ala
Obelix, si abegeh cuma bilang, “Maaf bang, lagi buru-buru mau ujian
kuliah.” (Seinget penulis, tidak ada acuan dari kampus manapun yang
mengharuskan ngebut waktu ketika hendak ujian). Seorang rekan penulis
bahkan sempat nyaris membakar motor seorang abegeh yang seenaknya
menyentuh spion motornya hingga nyaris patah. Alasannya sederhana,
“Kalau dia minta maaf aje, gue paham dah. Namanya juga Jakarta, udah
biasa. Lah ini, seenak udelnya aje liwat. Kelakuaannya udah kayak
jagoan. Giliran udah mau gue bakar motornya, nangis minta maaf. Dodol!
(santai bro, ini bukan adegan di film “ranjau-ranjau cinta”).
Bagi penulis sendiri, lagi-lagi
masalahnya ada di pemerintah, dalam hal ini regulator dan juga
masyarakat kita yang mulai “sakit”. Kenapa demikian? Sederhana. Kalau
memang penggunaan ban di bawah ukuran standar tidak diperbolehkan,
monggo dilarang penjualannya. Khususkan penjualan item tersebut hanya di
event balap. Artinya, produsen tidak boleh menjual ban tersebut untuk
konsumsi publik. Tetapi masyarakat kita juga rada susah diatur, sudah
keenakan semau gue. Sudah tahu itu berbahaya, sudah tahu itu tidak
peruntukannya, masih juga dilanggar, masih juga digunakan. Sama saja
seperti mentaati lampu lalu lintas. Sudah ada Timer masih saja tidak sabar.
Untuk ban cacing, silahkan gunakan, tapi hanya saat event drag race sajalah. Gak lebih, gak kurang (udah sore bro, harga kawan aja dah.
). Apalagi jika drag race sudah diorganisir secara apik, dan
profesional, maka akan berdampat positif. Mudah-mudahan berkurang BaLi
di tempat-tempat umum. Tetapi untuk penggunaan harian, yah coba dipikir
kembali. Jangan menunggu kecelakaan, baru deh sadar. Mungkin, karena
terinspirasi dengan event drag race, terbawa juga aura sembalap bagi
pengguna ban cacing dan terjadilah kelakuan pecicilan. Ada
perbedaan mendasar antara menggunakan ban cacing di trek sirkuit dan di
jalan raya (umum). Jika di sirkuit, dijamin akan ada marshall, safety officer dan penonton yang antusias. Jika di jalan umum, dijamin banyak lubang, tingkah laku pasti pecicilan
dan banyak pemotor yang antusias/gemas dengan perilaku tidak pada
tempatnya. Dan untuk sekedar menegaskan, tulisan ini bukan kampanye dari
produsen salah satu obat cacing.(hnr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar